Membahas
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Secara Mendalam
Isra’ Mi’raj adalah suatu
peristiwa besar yang sekarang oleh sains dan teknologi diakui, karena ternyata
memang demikianlah yang bisa terjadi bahwa Rasulullah benar-benar bergerak dari
Mekkah ke Palestina, dan kemudian diteruskan ke Sidratil Muntaha hanya dalam
waktu tidak sampai satu malam. Sudut pandang ilmiahnya bahwa ini adalah
peristiwa fenomenal dan kontroversial. Fenomenasejarah bahwa peristiwa
ini belum pernah terjadi dan diyakini takkan pernah terjadi lagi.
Pertama, bahwa
peristiwa ini sangat fenomenal dari segi sejarah, karena sebelumnya tak pernah
terjadi pada manusia. Sebelum Nabi Muhammad memang pernah terjadi pada benda.
Benda tersebut bisa berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam
orde sepersekian detik saja. Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu
Balqis dari Kerajaan Saba ke Kerajaan Nabi Sulaiman. Waktu itu Nabi Sulaiman
bertanya kepada para stafnya yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan
olehnya. Nabi Sulaiman mengatakan kepada para stafnya untuk melakukan suatu
kejutan terhadap Ratu Balqis yang ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi
Sulaiman. Ternyata Nabi Sulaiman ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis
ke kerajaannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya siapa yang
bisa melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin
Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab
oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari
tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal
ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum puas akan hal tersebut.
Kemudian Nabi Sulaiman bertanya lagi kepada para stafnya siapa yang bisa
lebih cepat melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri kemudian ternyata
adalah seorang manusia, yaitu manusia yang menguasai ilmu dari al-Kitab. Orang
itu kemudian ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa melakukannya.
Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman
berkedip lagi. Ternyata memang benar adanya, sebelum Nabi Sulaiman berkedip,
singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya. Satu kedipan mata berarti
waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan Isra’ Mi’raj, ternyata
perjalanan Nabi Muhammad tersebut terjadi dalam waktu tidak sampai satu kedipan
mata pun.
Kedua,fenomenal dari
segi sains. Untuk menjelaskan Isra’ Mi’raj, ternyata kita harus menggali
ilmu-ilmu mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan
peristiwa Isra’ Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi
Muhammad melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu
kemudian ada yang menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga
yang menggambarkan bahwa kepala buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga
yang menggambarkan kepala buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini
tentunya khas abad pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah
dengan mengendarai kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu
digambarkanlah kuda itu bersayap.
Dengan pendekatan secara saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya
perpindahan Rasulullah dari satu tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’
Mi’raj itu terjadi secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya
kontroversial hampir 1500 tahun di kalangan agamawan maupun para saintis karena
memang sulit menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada
juga yang meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah hingga kini. Yang
ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan umat Islam
sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke
Palestina itu dengan badannya atau bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu hanya
penglihatan saja. Ada juga yang mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada yang
mengatakan itu hanya mimpi. Dan ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu memang
dialami Nabi Muhammad dengan badannya.
Yang meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu dialami
Nabi Muhammad dengan badannya adalah mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq. Ketika
itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan
oleh Abu Bakar kepada yang bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut.
Dijawab oleh yang bertanya kepada Abu Bakar itu bahwa yang menceritakan hal
tersebut adalah Nabi Muhammad. Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi
Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakininya, karena Nabi Muhammad tak
pernah berbohong.
Cara Abu Bakar memersepsi mengenai Isra’ Mi’raj ini
oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu tak perlu berpikir.
Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu Bakar berpikir dahulu,
karena ia menanyakan bahwa siapakah yang menceritakan hal tersebut. Kalau
memang Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakini kebenaran yang
diceritakan oleh Nabi Muhammad itu. Tapi kalau yang menceritakannya bukan Nabi
Muhammad tentunya Abu Bakar takkan langsung meyakini kebenaran cerita tersebut.
Jadi dalam beragama memang kita harus berpikir, janganlah ikut-ikutan saja.
Perintahnya sangat jelas di dalam al-Quran: Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 36)
Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj
kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki,
maka semuanya bisa saja terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa
dengan cara berpikir seperti ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh
Allah, maka di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita diperintahkan untuk menjadi ulil albab, yaitu orang yang menggunakan
akalnya memahami segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa
tersebut.
Perjalanan Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape: satu etape mendatar (horisontal), sedangkan
satunya lagi adalah etape vertikal ke langit ketujuh. Etape mendatarnya
diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
Maha Suci Allah, yang telah memerjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)
Tidak ada ayat lain lagi yang bercerita mengenai
perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina itu kecuali ayat ini. Kalau
begitu bagaimanakah kita bisa melakukan rekonstruksi atas perjalanan tersebut?
Jika ditelusuri kata demi kata dari ayat ini ternyata ada delapan kata kunci di
ayat ini, yaitu:
Pertama, ayat ini
dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh” diajarkan
kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang menakjubkan,
yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan memulai cerita itu
menggunakan kata “subhânalladzî” sebenarnya Allah menginformasikan bahwa
cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita yang biasa, melainkan
cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan menakjubkan.
Kedua, yaitu kata “asrâ”.
Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu
adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini mengcounter
pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah
tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu
Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas
kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa dilakukan
sendiri oleh Rasulullah.
Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang artinya
adalah hamba Allah. Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak berani
membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya.
Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya
sembarangan, melainkan manusia yang kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba
Allah, yaitu manusia seperti Nabi Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak
bisa menerima ketika Nabi Muhammad digambarkan mendapat perintah salat 50
waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah. Anjuran
tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu
terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang
akhirnya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu
saja sehari semalam.
Kita mungkin tak sampai hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat
kepada Allah yang tak pernah membantah kalau mendapat wahyu dan perintah dari
Allah yang dalam cerita versi ini digambarkan sampai sembilan kali
tawar-menawar dengan Allah untuk mengurangi jumlah salat fardu yang
diperintah-Nya. Digambarkan pada cerita versi ini bahwa Nabi Musa lebih
superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh
Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon agar jumlah salat fardu yang
diperintahkan Allah itu dikurangi. Tentunya patut pula kita ingat bahwa Nabi
Musa adalah nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi
Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak mau menerima Nabi Muhammad.
Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga
dalam cerita versi ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Jadi ini indikasinya
adalah hadis Israiliyat.
Keempat, yaitu kata “laylan”
yang artinya adalah perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menunjukkan
sebagai penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan
cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa
ketika Rasulullah berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian
menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih
hangat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya.
Di hadis yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah meninggalkan
rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata
ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang
disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’
Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berlangsung dalam waktu yang sebentar dan
cepat.
Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi
perjalanan yang hanya sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau
mungkin hanya beberapa detik.
Kelima, minal
masjidil harâmi ilal masjidil aqsha (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa).
Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak
dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari tempat
yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang
menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan
memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca
al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang.
Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka
orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini
bertingkat, yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai
warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap
aktivitas yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada
ketika itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam.
Allah berfirman:
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada
di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qâf: 18)
Raqib dan Atid kemudian dijadikan sebagai nama malaikat
yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga
dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi. Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari
(hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa melihat
seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid mengandung energi positif sangat besar, terutama masjid yang sering
digunakan sebagai tempat beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin
khusyuk, maka energinya akan semakin besar. Rasulullah berangkat dari masjid
menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di masjid
Keenam, bâraknâ
hawlahu (yang telah Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang
perjalanan itu, hal ini karena perjalanan itu memang membahayakan. Dengan
keberkahan Allah kondisi Nabi tetap membaik
Ketujuh, linuriyahû
min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami). Dalam perjalanan isra’ mi’raj ketika itu Rasulullah
ditunjukkan berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu
adalah waktu yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai relativitas
waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan
orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur
dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang
tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin hanya beberapa
detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun,
lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang,
seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur beberapa detik
saja. Begitupun dengan Rasulullah, meskipun perjalanan yang dialaminya itu
hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan berbagai macam
peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memberjalankan Rasulullah
adalah Allah yang tak lain adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat dan mendengar menjadi
lebih baik dari sebelumnya.
Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan pada surah
an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada
surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18)
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang
paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)
Di dekat Sidratil Muntaha, Rasulullah menyaksikan
surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan surga, karena
sudut padangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak
kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan
kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan surga,
namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air
dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga.
Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun
skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah melanglang buana?
Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratil Muntaha yang kita
tidak tahu di mana letaknya.
Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah
seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi
tempat kita tinggal adalah termasuk salah satu planet yang mengitari matahari.
Matahari yang tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil.
Ketika matahari yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak
lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang. Matahari itu
ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah
matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang)
itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari
(bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada
sekitar 100 milyar matahari (bintang). Bintang-bintang itu bergerombol
mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari
kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi
Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi
itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai
kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan
yang lebih besar yang dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100
milyar galaksi. Apakah supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam
semesta, hingga kini belum ada yang mengetahuinya.
Jarak bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya
maka dibutuhkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang
sinarnya sampai ke mata kita, maka cahaya yang sampai ke mata kita itu
sebetulnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu.
Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah sampai ke mata kita.
Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi adalah 4 tahun
perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang kembar pada malam hari, maka
sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat itu, melainkan bintang 4
tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun
perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun
cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan
pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang
kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang
tersebut. Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam semesta,
melainkan benda yang sangat kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya
ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak
1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1
milyar tahun cahaya. Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang
berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini ha sebutir debu di padang
pasir alam semesta nyalahraya.
Jadi, manusia adalah debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya
debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster
debunya langit pertama, karena langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu
astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi al-Quran mengatakan langit itu
ada tujuh, karena menurut al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak
bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu
bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama adalah
debunya langit kedua, karena langit kedua itu besarnya tak berhingga kali
dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali
dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya
selalu tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga
langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak
berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama.
Jadi, langit pertama adalah debunya langit kedua, langit kedua debunya
langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh
beserta seluruh isinya hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran
Allah. Beginilah cara al-Quran menggiring pemahaman kita tentang makna Allahu
Akbar. Semestinya menurut al-Quran, bahwa belajar mengenal Allah itu adalah
dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha
Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha
Berkehendak, tak cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa
yang sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa Rasulullah melakukan perjalanan
menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke langit ketujuh itu
apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah diubah menjadi cahaya, maka
dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka
Rasulullah membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang Alpha Century,
untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk
menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar tahun.
Sepertinya Rasulullah tidak melewati ruang angkasa, melainkan ada ruangan
langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi memahami semua itu.
Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak
bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita
berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan malaikat Jibril
menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu
langit yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya
dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana
oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa
akan bertemu dengan Allah. Kalau begitu, berarti Allah itu jauh sekali. Padahal
di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad
mengetahui itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)
Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan kepunyaan Allah-lah timur
dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]:
115)
Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita
menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, karena Allah sedang meliputi
kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah tak
perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke Sidratil Muntaha bukanlah
untuk menemui Allah, karena Allah sudah meliputi Rasulullah, juga meliputi kita
semua di manapun kita berada.
Isra’ Mi’raj itu sebetulnya bertujuan membawa Rasulullah ke satu posisi
yang paling tinggi untuk memahami betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah
semuanya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian? Karena
sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik terendah
perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang kafir dan
diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah mewafatkan paman
Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal ini
bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh Allah, karena memang tak ada
yang kebetulan di dalam kehidupan ini.
Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah
berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front
syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau berharap disambut baik oleh
penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai
berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa kembali semangat beliau, yaitu
dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau adalah utusan Allah,” mungkin
seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj
tersebut.
Ketika Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka
setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya, yaitu beliau bersama
pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota
Mekkah.
Demikianlah artikel isra' mi'raj . Mudah-mudahan
Allah memberikan barakah dan rahmat-Nya untuk kitasemua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar